Kamis, 15 Januari 2015
Rabu, 14 Januari 2015
Cut nyak Dien
Tanggal Lahir : Lampadang, Aceh tahun 1850
Wafat : Sumedang Jawa Barat tahun, 6 November 1908
Makam : Gunung puyuh, Sumedang, Jawa Barat
Perjuangan :
Cut Nyak Dien menikah pada usia 12
tahun dengan Teuku Cik Ibrahim Lamanga. Namun pada saat pertempuran di
Gletarum, Juni 1878, Suami Cut Nyak Dien (Teuku Ibrahim) gugur. Kemudian Cut
Nyak dien bersumpah hanya akan menerima pinangan dari laki-laki yang bersedia
membantu untuk menuntut balas kematian sang suami.
Cut Nyak Dien akhirnya menikah
kembali dengan Teuku Umar tahun 1880, kemenakana ayahnya Seorang pejuang Aceh
yang juga cukup disegani oleh Belanda. Sejak itu Cut Nyak Dien selalu berjuang
berama suami barunya, Teuku Umar (September 1893- Maret 1896). Dalam
perjuangannya, Teuku Umar berpura-pura bekerjasama dengan Belanda sebagai
taktikuntuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang lainnya. Sementara Itu
Cut Nyak Dien tetap berjuang melawan Belanda di Kampung halaman Teuku Umar.
Teuku Umar akhirnya bergabung lagi kembali dengan para pejuang setelah
taktiknya diketahui oleh Belanda.
Tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar
gugur dalam pertempuran di Meulaboh namun Cut Nyak Dien tetap meneruskan
perjuanngannya dengan bergerilya dan tidak pernah mau berdamai dengan Belanda
yang disebutnya “Kafir-Kafir”.
Perjuangannya yang berat karena
memaksanya beserta pasukannya keluar masuk hutan menyebabkan keadaan Cut Nyak
Dien drop dan menderita sakit Encok.
Karena kasihan dengan keadaan Cut
Nyak Dien, para pengawalnya membuat kesepakatan dengan Belanda asal “Cut Nyak
Dien tidak diperlakukan sebagaiorang terhormat dan bukan sebagai penjahat
perang”
Sebagai tawanan, Cut Nyak Dien masih
sering kedatangan tamu dan karenanya Belanda masih menghkawatirkan pengaruh Cut
Nyak Dien sehingga membuangnya ke Sumedang. Cut NYak Dien akhirnya wafat di
Pengasingan sebagaipejuang wanita berhati baja dan ibu bagi rakyat Aceh.
Pemerintah RI menganugerahi gelar
Pahlawan Kemerdekaan Nasional kepada Cut Nyak Dien berdasarkan SK Presiden RI
No 106/1964
Patti Mura
Nama Lengkap : Kapitan Pattimura
Nama Asli : Thomas Matulessy
Tanggal Lahir : Negeri Haria, Pulau Saparua-Maluku, tahun 1783
Tanggal Lahir : Negeri Haria, Pulau Saparua-Maluku, tahun 1783
Meninggal : Benteng Victoria, Ambon, 16 Desember 1817
Perjuangan :
Perlawannya terhadap penjajah
Belanda pada tahun 1783. Perlawannya terhadap penjajahanBelanda pada tahun 1817
sempat merebut benteng Belanda di Saparua selama tiga bulan setelah sebelumnya
melumpuhkan semua tentara Belanda di benteng tersebut. Namun beliau akhirnya
tertangkap. Pengadilan kolonial Belanda menjatuhkan hukuman gantung padanya.
Eksekusi yang dilakukan pada tanggal 16 Desember 1817 akhirnya merenggut
jiwanya.
Perlawanan sejati ditunjukkan oleh
pahlawan ini dengan keteguhannya yang tidak mau kompromi dengan Belanda.
Beberapa kali bujukan pemerintah Belanda agar beliau bersedia bekerjasama
sebagai syarat untuk melepaskannya dari hukuman gantung tidak pernah
menggodanya. Beliau memilih gugur di tiang gantung sebagai Putra Kesuma Bangsa
daripada hidup bebas sebagai penghianat yang sepanjang hayat akan disesali
rahim ibu yang melahirkannya.
Dalam sejarah pendudukan
bangsa-bangsa eropa di Nusantara, banyak wilayah Indonesia yang pernah dikuasai
oleh dua negara kolonial secara bergantian. Terkadang perpindahtanganan
penguasaan dari satu negara ke negara lainnya itu malah kadang secara resmi
dilakukan, tanpa perebutan. Demikianlah wilayah Maluku, daerah ini pernah
dikuasai oleh bangsa Belanda kemudian berganti dikuasai oleh bangsa Inggris dan
kembali lagi oleh Belanda.
Thomas Matulessy sendiri pernah
mengalami pergantian penguasaan itu. Pada tahun 1798, wilayah Maluku yang
sebelumnya dikuasai oleh Belanda berganti dikuasai oleh pasukan Inggris. Ketika
pemerintahan Inggris berlangsung, Thomas Matulessy sempat masuk dinas militer
Inggris dan terakhir berpangkat Sersan.
Namun setelah 18 tahun pemerintahan
Inggris di Maluku, tepatnya pada tahun 1816, Belanda kembali lagi berkuasa.
Begitu pemerintahan Belanda kembali berkuasa, rakyat Maluku langsung mengalami
penderitaan. Berbagai bentuk tekanan sering terjadi, seperti bekerja rodi,
pemaksaan penyerahan hasil pertanian, dan lain sebagainya. Tidak tahan menerima
tekanan-tekanan tersebut, akhirnya rakyat pun sepakat untuk mengadakan
perlawanan untuk membebaskan diri. Perlawanan yang awalnya terjadi di Saparua
itu kemudian dengan cepat merembet ke daerah lainnya diseluruh Maluku.
Langganan:
Postingan (Atom)